Senin, 19 April 2010

Desakan NU Terhadap Perdamaian Dunia

Bagi kalangan Nahdliyin tentu masih ingat dengan sebuah acara besar berskala internasional bernama ICIS III (International Conference Islamic Scholars) yang dilaksanakan oleh NU tahun lalu. Tak kurang dari 64 negara mengirimkan delegasi yang terdiri dari ulama-ulama dan cendikiawan-cendikiawan dengan beragam madzhab. Acara ini berlansung pada 29 Juli-1 Agustus tahun lalu dengan mengusung tema Upholding Islam as Rahmatan Lil Alamin: Peace Building and Conflict Prevention in The Muslim World (Mempertegas Islam Sebagai Rahmat Bagi Semesta Alam: Membangun Perdamaian dan Mencegah Konflik di Dunia Islam) di mana diperoleh kesepakatan yang termaktub dalam The Jakarta Messages (Pesan-pesan Jakarta. Kalau bisa dikatakan ini adalah sebuah kesuksesan besar NU).


Sukses besar NU menyelenggarakan acara besar ini tentunya berangkat dari sebuah keresahan atas kondisi dunia saat ini. Mau diakui atau tidak, hubungan Islam dan Barat sudah lama kurang harmonis. Rasa sentimentil dan rivalitas antara keduanya semakin subur bak cendawan di musim hujan. Dendam sejarah dan masih berlangsungnya imperialisme gaya baru Barat terhadap negara-negara Islam. Psimisme untuk menghilangkan rasa itu serasa menemui jalan buntu. Seolah istilah benturan peradaban Samuel P Huntington seolah benar-benar terjadi.

Di lain sisi, dalam tubuh internal Islam sendiri timbul gejala radikalisme militan. Hal ini dilatarbelakangi oleh interpretasi keagamaan yang cenderung keras, juga tidak menutup kemungkinan akibat dari peninidasan negara-negara Barat terhadap mereka. Sehingga seolah-olah melegitimasi mereka untuk menggunakan kekerasan sebagai jalan pembenaran (Said Aqiel Siradj: 2006).

NU Sebagai Wadah Internasional
Di tengah benturan antara Islam dan Barat itu tampaknya NU dianggap sebagai jembatan antara keduanya. Ruh persatuan yang sudah carut-marut dan semakin mengerucutnya sisi rivalitas kekuasaan dan aliran menjadikan NU sebagai organisasi internasional yang mampu membangkitkan kembali ruh persatuan itu. Kedua belah pihak baik Islam dan Barat mempercayakan kepada NU untuk mencarikan penyelesaian. Anggapan mereka NU merupakan organisasi yang masih bisa berpikir jernih dalam menghadapi persoalan. NU tidak mudah terjebak dalam kubangan konflik namun tetap konsisten terhadap pendiriannya yaitu tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan),i'tidal (jalan tengah), dan tasamuh (toleran). Namun bukan berarti NU sebagai organisasi besar malah menjadi besar kepala meskipun memperoleh kepercayaan seperti itu. Sebab tidak ada kata berontak dalam kamus NU.

Dalam kenyataannya NU senantiasa menampilkan keislaman berdasarkan pemahaman yang mendalam, sehingga melahirkan tingkat toleran yang tinggi tanpa meninggalkan prinsip pokok. Di situ NU mampu mengapresiasi paham kebangsaan, sehingga melahirkan kebangsaan yang dinamis dan transparan dan berwawasan internasional. Sehingga tidak heran organisasi kaum sarungan ini diterima oleh berbagai pihak

NU Sebagai Panutan Bangsa Sendiri
NU merupakan ormas Islam yang sudah berdiri jauh sebelum negara ini merdeka. Yakni pada tahun 1926 di Surabaya. Kelahiran NU merupakan bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa, yakni sebagai wujud kegairahan luhur para ulama dalam membangun sebuah peradaban besar. Para pendiri NU dengan keunggulan komparatifnya secara gigih dan penuh perjuangan mengelola pilar-pilar perbedaan sehingga terwujudlah harmonisasi yang konsisten.

Jiwa kebangsaan NU sejatinya mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya nusantara. Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya, dan martabat manusia sebagai makhluk budaya. Dalam kaitannya ini, NU memiliki wawasan multikultura. Inilah di antara paham Keislaman NU.

Dengan latar belakang seperti itu sudah seharusnya NU yang sudah 83 tahun berdiri menjadi barometer bangsa ini. Janganlah NU menjadi rumah besar yang dianggap bagus oleh orang luar, tapi justru pemilik rumah itu sendiri mencela bahkan semakin hari semakin menggerogoti pilar-pilarnya dari dalam. Di antaranya memanfaatkan NU untuk kepentingan pribadi atau kelompok untuk menunaikan ambisinya. Apalagi sebentar lagi kita akan menghadapi pemilu 2009. Hal itu akan membuat NU seperti rumah yang tampak besar dari luar tapi justru rapuh dari dalam.

Lalu langkah-langkah seperti apakah yang perlu bahkan harus dilakukan NU dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara ini?

Pertama, kita warga nahdliyin perlu mengembalikan spirit agama sebagai ruh politik kebangsaan kita.. Bukan menjadikannya sebagai bungkus hipokrisme-hipokrisme kekuasaan.

Kedua, praktik politik kebangsaan NU sebagai kekuatan moral dan kultural membutuhkan instrumen struktural tanpa identik dengan kekuasaan dan politisasi yang hanya akan mereduksi tujuan utama NU.

Ketiga, NU harus memberikan wahana yang seluas-luasnya bagi internalisasi khittah NU agar NU memiliki politik kebangsaan yang kukuh dan menghindari tindakan hegemonik struktural terhadap NU.

Keempat, upaya pengukuhan NU yang berdaya tawar tinggi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga menjadi kekuatan alternatif ketika praktik politik konvensional merugikan bangsa.

Meminjam istilah Mitsuo Nakamura, NU bagaikan kereta begerbong besar yang melewati rel yang menanjak dan bekelok-kelok. Medan seperti ini merupakan sebuah tantangan yang harus dilewati. Dan proses inilah yang nantinya akan membuat NU semakin matang dan tidak menjadi korban transformasi global demi menyongsong masa depan. Wallahu a'lamu bisshawab.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Filsafat


 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. KHAFI Jr. - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger