Jumat, 06 Mei 2011

Memangku

Para raja di Jawa adalah ekspresi sebuah idaman. Terutama idaman tentang stabilitas. Kita ingat nama-nama mereka: Amangkurat dan Mangkubumi berarti ”memangku bumi”. Hamengku Buwono berarti ”memangku benua”. Paku Buwono: ”paku” atau ”pasak” yang membuat kontinen tak bergerak terus, terpacak tak terguncang-guncang.

Sering kali kita lupa, nama-nama itu relatif baru. Mereka muncul dalam sejarah monarki Jawa sejak abad ke-17. Sebelum itu, dimulai dengan zaman raja-raja Mataram Lama sampai awal Mataram Baru, kita hanya menemukan nama-nama pribadi: Sanjaya, Syailendra, Mpu Sindok, Airlangga, Hayam Wuruk, Raden Patah, Trenggono, Hadiwijaya, Panembahan Senapati. Kemudian, pada 1641, muncul gelar ”Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman”: transisi dari yang personal ke dalam yang simbolik. Setelah itu, Amangkurat I.

Simbol, berbeda dengan tanda, mengacu ke sehimpun informasi yang tak persis dan pasti. Yang simbolik mengandung sesuatu yang tak hendak dikatakan. Dalam nama ”Amangkurat” atau ”Paku Buwono” terasa satu kesadaran tentang geografi yang berbeda: sang penguasa membayangkan wilayah yang tak terbatas hanya pada daerah yang dikuasainya langsung. Tapi sejauh mana wilayah itu, tak ada garis yang persis. Kita ingat mithos yang terkenal itu: hubungan yang akrab namun misterius Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, dengan yang bertakhta di ”Laut Selatan” dan di ”Merapi”. Dalam kisah ini, tersamar hasrat yang ekspansif yang tak hendak dikatakan.

Mungkin itu pertanda megalomania. Tapi mungkin juga lain. Jika ditilik lebih dalam, nama-nama itu bukan mensugestikan hasrat menaklukkan. Dalam kata ”memangku” ada makna ”menampung” dan ”merawat”. Pangkuan adalah sesuatu yang mesra, tenteram, dan protektif. Bahkan ”paku”, dalam nama ”Paku Buwono”, lebih berasosiasi dengan penjagaan.

Namun pada saat yang sama, ada faset lain yang bisa dicatat: apa yang dipangku dan dijaga dengan sendirinya sesuatu yang dianggap stabil, tak lasak—sesuatu yang betah dengan wadah tempat ia berada. Dengan kata lain, negeri atau masyarakat yang ada di haribaan raja diharapkan tak punya antagonisme dalam diri mereka dan dengan sang raja.

Tentu saja, seperti saya sebut di atas, itu hanya sebuah idaman. Simbol punya peran lain: bukan representasi sesuatu, melainkan sebuah ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang tak ada.

Dalam sejarah Mataram, yang tak ada itu justru harmoni antara yang memangku dan yang dipangku. Sejak Amangkurat I, kekerasan berkecamuk. Raja ini membantai 3.000 ulama di alun-alun dalam waktu setengah jam. Raja ini pula yang akhirnya menimbulkan pemberontakan Trunojoyo; ia bahkan disanggah anaknya sendiri hingga lari dari istana. Ia meninggal jauh di pesisir utara.

Kasus Amangkurat I menunjukkan, ikhtiar simbolisme itu lahir bersama kondisi raja sebagai sosok yang terbelah. Ia bertaut dengan sesuatu yang mithologis; sebagai pemangku bumi ia tak merupakan bagian dari bumi itu. Dengan posisi itulah ia diharapkan (dan mengharap) jadi pemersatu alam. Tapi pada saat yang sama, ia berada di dalam kegalauan bumi. Harapan untuk jadi ”pemersatu” itu berlebihan. Selisih pun timbul.

Amangkurat adalah contoh betapa sebenarnya sang pemangku bukan fondasi stabilitas. Ia sendiri tak punya penopang. Ia tumbuh dari konflik dan kekerasan yang membentuk sejarah: sejak Majapahit runtuh, sejak Kesultanan Demak lenyap dan Jipang hilang. Bahkan agaknya jauh sebelum Ken Arok membangun Tumapel dengan keris dan darah.

Juga sampai hari ini: kita harus mengakui, idaman akan stabilitas adalah idaman yang bagus tapi sia-sia. Tiap negeri, kerajaan, atau republik, bagaimanapun, terbentuk lewat bentrokan, persaingan, dan pergulatan hegemoni. Antagonisme tak pernah berakhir. Sejak Kautilya menulis Arthasastra di India di abad ke-4 sebelum Masehi, sejak Machiavelli menulis Il Principe di Italia di abad ke-16, sampai dengan kompetisi demokratik abad ke-21, para pemikir dan pelaku politik sadar: politik itu sejenis perang.

Apa boleh buat. Orang meciptakan kekuasaan untuk dirinya, tapi ia tak dapat menjadikan kekuasaan itu identik dengan dirinya: kita ingat Amangkurat yang lari dari keraton, raja-raja yang dimakzulkan dan dipenggal, khalif-khalif yang dibunuh dan dicemarkan. Yang penting tentu saja bukanlah mengakui kebrutalan itu sebagai sesuatu yang sah. Yang penting adalah meniadakan ilusi bahwa bumi akan berhenti gonjang-ganjing setelah dipangku dan dipaku. Kekuasaan selalu bergeser. Orang yang menciptakannya, dalam kata-kata Ernesto Laclau, ”akan sia-sia mendapatkan hari ketujuh untuk beristirahat”.

Kita, di Indonesia, mudah merindukan hari ketujuh itu: tercapainya konsensus. Saya tak sepenuhnya sepaham dengan Laclau bahwa antagonisme adalah satu-satunya dasar yang membentuk sebuah masyarakat. Tapi memang tak dapat diasumsikan bahwa konsensus pasti datang. Para pihak dalam kehidupan politik tak dengan sendirinya akan menemukan ”rasionalitas” dan dengan itu bermufakat. Dalam sejarah Indonesia, dengan atau tanpa demokrasi, tak ada persaingan tanpa perlawanan. Politik tak mungkin hanya mengejar koalisi tanpa konfrontasi.

Dalam salah satu kitab Jawa abad ke-19 disebutkan agar para calon pemimpin berlapang hati, serba memuat dan memangku, ”bagaikan lautan”—den ajembar, momot lan mengku, den kaya segara. Petuah itu tampaknya dirumuskan seseorang yang merasa diri aman dari politik dan ditujukan kepada para pewaris sebuah kekuasaan yang sedang tenteram. Tapi di tanah air kita, laut bukanlah tasik yang tenang tak beriak. Ia punya prahara dan tsunami.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Maret 2011~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Filsafat


 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. KHAFI Jr. - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger